Kita saat ini masih berputar-putar di dalam samsara. Perjalanan ini bisa saja tanpa akhir. Sejauh ini, Kita sudah menempuh perjalanan yang sangat panjang di samsara ini. Saat ini seorang lahir sebagai manusia. Akan tetapi, selama dia masih puthujjana maka tidak tertutup kemungkinan dia akan lahir di alam-alam yang rendah.
Ketika lahir sebagai manusia mendapatkan kesempatan untuk mempelajari hal-hal yang baik, tetapi ketika lahir sebagai makhluk di alam yang penuh penderitaan, dia akan kesulitan mendapatkan kesempatan untuk mempelajari hal seperti itu. Oleh karena itu, mumpung kita sekarang sudah lahir menjadi manusia maka kita harus belajar tentang mana yang baik dan mana yang tidak baik; tentang mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Bayangkan ketika kita mengemudikan mobil. Apabila kita tidak mengetahui rambu-rambu yang berlaku di jalan raya, maka kita akan membawa mobil itu dengan serampangan. Hal ini tidak hanya merugikan diri kita sendiri, tetapi juga merugikan orang lain. Demikian pula di dalam kehidupan ini ada rambu-rambu kehidupan, baik itu rambu-rambu yang memperbolehkan kita melakukan sesuatu tetapi ada juga rambu-rambu yang berisi larangan. Ada rambu-rambu yang mengharuskan kita untuk terus mengembangkannya atau bahkan sama sekali harus meninggalkannya. Rambu-rambu lalu lintas kehidupan seperti ini ada di Tipitaka dan kitab komentar.
Ketika kita mempelajari kitab suci maka kita akan melihat bahwa problem kemanusiaan 2500 tahun yang lalu dan hari ini pun sama saja, banyak orang yang tidak memahami rambu-rambu kehidupan. Isi dari Parābhava Sutta ini adalah mengenai rambu-rambu kehidupan. Kalau tidak ingin runtuh di dalam kehidupan ini maka kita dilarang untuk memasuki area ini dan itu, jangan pernah mencoba untuk memasukinya!
Salah satu sebab keruntuhan yang dibahas dalam sutta ini adalah melakukan pelanggaran sīla kelima Buddhist. Bunyi dari sīla kelima adalah Surāmeraya majjapamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi. Apakah kita mengetahui artinya? samādiyāmi berasal dari kata sammā yang artinya benar dan ādiyāmi berarti saya mengambil, jadi samādiyāmi artinya saya mengambil dengan benar atau dengan serius; sikkhāpadaṁ berasal dari kata sikkhāpada artinya peraturan latihan; majjapamādaṭṭhānā, ṭhāna artinya dari kesempatan atau dari keadaan, pamāda artinya lengah atau ceroboh; veramaṇī artinya penahanan diri atau berpantang; surāmeraya artinya minuman keras, alkohol, hasil fermentasi dan lain sebagainya. Dengan demikian arti dari sīla ini adalah saya mengambil dengan serius peraturan latihan tentang penahanan diri dari kesempatan atau keadaan yang menyebabkan timbulnya kelengahan yang disebabkan oleh minuman keras, alkohol, fermentasi dan lain sebagainya.
Jadi, pahamilah sīla yang kita latih supaya kita dapat mendisiplinkan diri untuk menjauhi hal-hal yang harus dihindari walau ada kesempatan. Bila orang di sekeliling kita sedang minum minuman keras maka lebih baik menjauh darinya. Mungkin ada yang berpikir bahwa kalau mengonsumsi minuman keras selama tidak sampai mabuk maka itu bukanlah pelanggaran sīla. Peraturannya tidak berhubungan dengan mabuk atau tidak, melainkan menjauhkan atau menghindari segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kita lengah atau membuat kita menjadi manusia yang ceroboh. Itulah mengapa pengetahuan Dhamma itu penting karena akan membantu kita dalam membangun kehidupan yang baik dan benar.
Buddha mengatakan bahwa kenikmatan dan kepuasan indirawi hanya bersifat sesaat saja, namun kenikmatan yang sesaat itu membawa dampak penderitaan yang sangat panjang. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan terus berusaha mengendalikan indra-indra kita.
Pada akhirnya, semua orang harus berhati-hati, tidak boleh lengah karena kecerobohan akan membawa kehidupan siapa pun ke arah yang negatif. Bangunan kehidupan yang sudah mulai reyot, harus dibangun kembali secara perlahan dengan modal pariyatti (Tipitaka). Dengan demikian kehidupan akan menjadi ringan, nyaman, damai dan bahagia.

“Kualitas kebahagiaan tidak diukur dari berapa banyak keinginan yang terpenuhi melainkan dari seberapa banyak kita telah terbebas dari keinginan”
-Ashin Kheminda
Sumber Tulisan :
Tulisan ini merupakan hasil dari beberapa poin yang menjadi perhatianku setelah selesai membaca Parābhava Sutta (Diskursus tentang Keruntuhan) yang ditulis oleh Ashin Kheminda dalam bukunya yang berjudul “Kompillasi Ceramah tentang Suttanta 1”.

Leave a Reply