Beberapa orang yang kutemui akhir-akhir ini membuatku semakin mengerti akan betapa pentingnya untuk terus meniti karir spiritual walaupun hidup sebagai perumah tangga. Kehidupan akan jauh lebih mudah untuk dijalani jika kita sudah mengetahui bahwa pada hakikatnya di dalam kehidupan, semua itu berproses. Tapi, seringkali ada anggapan bahwa maksud kata berproses disini hanya perubahan dari hal baik menjadi hal buruk atau justru sebaliknya, perubahan dari hal buruk menjadi hal baik. Sesungguhnya tidaklah sesederhana itu, yang dimaksud berproses juga bisa memberikan peluang untuk hal baik menjadi lebih baik lagi dan hal buruk menjadi lebih buruk.

Aku selalu saja tertarik untuk mendapatkan jawaban dari sebagian orang berkaitan dengan “Mengapa ada yang tidak serius untuk berlatih meskipun sebagai perumah tangga?” Semakin aku mencoba mendapatkan jawabannya, semakin aku mengerti bahwa kita semua memiliki pengalaman, situasi, kondisi dan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, cara dalam menjalaninya kehidupannya pun begitu beragam.
Beberapa dari kita menjalankan kehidupan hanya berdasarkan rasa suka dan tidak suka. Jika suka, kita tidak ingin melepasnya. Sedangkan, apabila kita tidak suka, selalu saja rasanya ingin segera lepas darinya. Namun, pernahkah terpikir bahwa dengan mudahnya kita terperdaya dengan perasaan kita. Tidak sedikit masalah yang timbul hanya karena masing-masing orang berusaha mempertahankan apa yang mereka suka dan mencoba menghancurkan apa yang mereka tidak suka.
Segelintir orang yang kutemui sebetulnya ingin berlatih, tetapi biasanya mereka memiliki banyak sekali keraguan dalam berlatih. Bahkan, mereka seringkali bertanya pada dirinya sendiri “Apakah yang aku lakukan sudah benar?” Celakanya, dari satu keraguan, jika tidak segera mendapatkan jawabannya, akan menuju ke keraguan selanjutnya. Lebih tepatnya seperti bola salju yang semakin lama menggelinding akan semakin besar pula. Seperti itulah, keraguan jika tidak segera diatasi. Hingga akhirnya, mereka pun terjebak dalam permainan teoritis dan melupakan praktik.
Sebenarnya, obat untuk mengikis keraguan adalah “pengetahuan”. Cobalah untuk selalu “mengosongkan cawan” ketika dipertemukan dengan hal baru. Karena, jika cawan kita penuh, tidak ada hal yang bisa dimasukkan lagi ke dalamnya. Bagaimanapun, apa yang kita tidak ketahui, belum tentu itu tidak ada, hanya saja kita belum mengerti saat itu. Belajarlah menerima terlebih dahulu apapun itu, setelahnya baru berusaha.
Hal penting yang harus dimengerti adalah kita hanya berusaha mengondisikan supaya baik. Perihal hasilnya nanti seperti apa, itu diluar kendali kita. Tapi, perlu diingat jika kondisi baik dapat mendukung kemunculan hal yang baik juga. Selain itu, sebisa mungkin, jadilah makhluk yang tidak berbahaya bagi makhluk lainnya. Kita harus tanamkan dalam diri bahwa “Selayaknya kita yang ingin bahagia, begitu juga dengan makhluk yang lainnya”.
Jangan lupakan praktik kita sendiri, sesibuk apapun diri kita. Sisihkan waktu lebih untuk mendalami Dhamma dan meditasi. Luangkan waktu bagi diri sendiri untuk menyelami ajaran, mempraktikkan-nya dengan semakin tekun dan penuh tekad. Yang dapat mengurangi penderitaan adalah Dhamma yang dipraktikkan bagi diri sendiri untuk mengikis berbagai pandangan keliru dan keakuan. Oleh karena itu, tekunlah dalam sila, samadhi, dan panna. Hanya dengan cara ini, kita bisa mengatasi penderitaan.
Selanjutnya, jangan lupakan kondisi pendukung yang telah membuatmu berjodoh dengan kebaikan, meskipun kondisi tersebut telah berubah dan tak seindah dulu. Hal ini akan menentukan jodohmu dengan kondisi baik lainnya dalam hidup ini.
“Jangan biarkan diri kita ditarik oleh gravitasi kotoran batin. Berusahalah untuk menaikkannya lagi”
Irvyn Wongso
Sampai jumpa di tulisan selanjutnya. Semoga semua hidup berbahagia
Sumber Tulisan :
*Kompilasi dari beberapa IG Stories Ko Irvyn Wongso (@irvynwongso)

Leave a Reply